Rabu, 30 Juni 2010

Sedikit Untuk Ayah

Oleh Dibah

Catatan ini ditulis setelah membaca bab “Ayah” di novel Rahim karya Fahd Djibran

Selama ini, setiap berbicara tentang orang tua, seringnya aku hanya terbayang tentang ibu, yang meminjamkan separuh nyawanya padaku selama sembilan bulan aku menumpang hidup di rahimnya. Yang membawaku di perutnya kemanapun ia pergi tanpa sedikitpun keluhan keluar dari bibirnya. Yang bercucuran darah demi mengantarkanku hadir di dunia. Ibu, selalu ibu. Dan tentu saja ibu pantas mendapat segala penghormatan itu, bahkan lebih dari pantas, tepatnya harus. Betapa rugi, dan teganya mereka yang menyia-nyiakan segala pengorbanan yang dilakukan ibu.

Tapi kemudian aku telat menyadari satu sosok lain, yang tak kalah penting perannya dengan ibu. Sosok yang walaupun tak membawaku di perutnya, tapi selalu menyimpanku di hatinya. Sosok yang paling gelisah ketika ibu menjerit kesakitan di ruang bersalin saat mengantarkan hadirku di dunia. Dia yang berdoa semoga istri, dan anak kesayangan, yang bahkan belum pernah sekalipun dilihatnya, selamat. Dia yang walaupun tak mengorbankan darah, tapi memeras keringatnya demi memberikan putri kesayangannya kehidupan yang layak. Dia, sosok itu, ayah.

Sering luput dari perhatianku betapa kasih sayang ayah tak sedikit pun lebih kecil dari kasih sayang ibu. Sesungguhnya kasih itu sama besarnya, kalau saja aku memperhatikan. Tapi dari beberapa yang luput dari perhatianku, ada beberapa yang kuingat tentang kasih ayah yang jelas nyata kurasa, meski terlambat kusadari.

Aku ingat saat aku berusia sekitar 3 atau 4 tahun, atau ini bahkan mungkin terjadi sejak usiaku lebih kecil, hanya saja ya itu tadi, hal ini begitu saja luput dari perhatianku. Saat itu, setiap selesai menjalankan kewajiban solatnya, ia memintaku duduk di pangkuannya dengan isyarat tangannya. Aku kemudian tanpa bicara mendatangi sejadah, lalu duduk di pangkuannya, sesuai perintahnya. Dan kemudian ia mengambil telapak tanganku meletakkannya di atas telapaknya lalu menengadahkan tangan itu dan mengajakku berdoa. Aku tak tahu pasti apa yang ia rapalkan dalam doanya, yang kuingat adalah pada sela-sela doanya, ia berkali-kali menciumi kepalaku, sambil berselawat. Tangan yang menengadah, ciuman, serta rapalan doa itu tak kumengerti maknanya pada saat itu. Tapi kini, saat aku mengingatnya kembali, tenggorokanku terasa tercekat dan mataku basah oleh air mata. Air mata bahagia karena beruntung telah hidup dengan aliran doa ayah di dalam tubuhku.

Saat aku menginjak usia sekolah,kesempatanku bermain-main dengan ayah berkurang. Ayah bekerja sejak sore, hingga dini hari, dan ini otomatis membuatnya harus menambah waktu tidurnya di pagi hari, sehingga hanya ciuman di pipi kanan kiri dan pesan untuk belajar sungguh-sungguh yang kudapat saat menghampirinya pamit untuk pergi ke sekolah, itu pun hanya dari atas tempat tidurnya. Ia tidak mengantarku sampai ke pintu, tapi aku mengerti, bahkan pada usia itu pun aku mengerti, bahwa ayah butuh istirahat. Di siang hari, saat aku pulang sekolah, ayah sering menyiratkan bahwa sesungguhnya ia ingin bermain-main denganku, tapi aku yang baru kembali dari sekolah terlalu lelah untuk bermain, dan lebih memilih untuk beristirahat tidur. Dan sore hari, saat aku bangun, ayah sudah terlanjur berangkat bekerja.

Tapi aku tidak sedih, karena aku tahu pasti ayah merindukanku. Karena diam-diam setiap dia baru tiba di rumah sepulang ia bekerja, ia menghampiri kamarku, bahkan sebelum dia menghampiri ibu, membenarkan letak selimutku, lalu menciumiku yang lelap dalam tidurku. Dan kadang, jika aku sedang rindu, aku sengaja membiarkan diriku tertidur di ruang tv, semata-mata hanya agar aku punya kesempatan digendong ayah, yang tak pernah tega membagunkanku untuk berjalan sendiri ke kamarku. Dan sesungguhnya aku selalu terbangun tiap kali ayah melakukan itu, tapi aku sengaja pura-pura tidur untuk tetap berada dalam gendongannya.

Betapa sesungguhnya aku punya begitu banyak kenangan tentang ayah, yang seringnya kulupakan saat ia memarahiku saat aku terlalu malam pulang ke rumah, atau saat dia menolak permintaanku untuk membeli sesuatu. Dan saat itu, dengan teganya, aku justru menuduhnya tak memberiku cukup kebebasan, cukup kepercayaan, dan tak hanya itu, aku bahkan menuduhnya tak cukup sayang padaku untuk meluluskan permintaanku. Padahal yang kusebut tak cukup sayang itu bisa jadi justru rasa sayangnya yang kusalahartikan. Seperti ketika aku menolak permintaan adikku yang terus-terusan meminta permen, bukan karena aku tak sayang padanya, tapi justru karena aku peduli dan tak ingin giginya rusak karena terlalu banyak memakan permen. Ya, pasti begitu maksud ayah. Dan yang kusebut tidak memberi cukup kebebasan dan kepercayaan itu sesungguhnya adalah rasa sayang yang begitu besar, hingga membuatnya khawatir bahwa sesuatu akan menimpaku saat aku luput dari penjagaannya

Maka, ayah, atas segala kasih sayang yang luput dari perhatianku, yang menyebabkan aku begitu saja menuduhmu, dan menyebabkanku menyakiti hatimu, aku mohon maaf. Atas segala pengorbananmu yang begitu saja kuabaikan, aku berterima kasih. Dan atas segala doa yang tak henti kau rapalkan, aku sungguh-sungguh mengucap syukur.

Dan, ayah, mungkin aku takkan mampu membalas apa yang telah kau, dan ibu lakukan. Tapi ayah, aku akan berusaha semampuku membahagiakan kalian dengan yang kupunya. Dan sungguh ayah, aku tahu itu pun takkan pernah cukup membalas segala yang kau lakukan untukku. Maka ayah, kali ini biar aku yang menengadahkan tanganku, sambil menciumi pipimu, dan memohonkan segala kebaikan untukmu dan ibu kepada Sang Pemilik Segala. Karena sungguh ayah, atas segala kasih sayang yang kalian curahkan, tak ada yang lebih pantas membalas selain Sang Maha Penyayang. Maka kepada-Nya lah aku berdoa.

Rabbighfirlii Wali wali Dayya Warhamhumaa Kamaa Rabbayani Shaghiraaa.

*Sumber dari sini.

Rahim

Oleh Ocky Fajzar Suryani

Buku ini mengingatkan kita tentang kehidupan kita dulu, sebelum kita berada disini, di dunia. Buku yang lebih banyak tahu tentang kita. Yang lebih banyak mengingat tentang kita. Serta buku yang mengingatkan kita betapa luar biasanya sang Pencipta merencanakan mahluk ciptaannya sedemikian rupa indah dan rapihnya.

Ketika membaca buku ini kesan pertama yang bisa diambil adalah “ia mengajakku bicara” buku yang mengajakku bercengkrama dan berdiskusi.

Namanya Dakka Madakka, seorang Pengabar Berita dari Alam Rahim, sebagai Satgas Pengembalian Kepercayaan dan Sakralitas Alam Rahim. Di zaman modern seperti ini terdapat berbagai penemuan ilmiah tentang rahim menyebabkan Alam Rahim sedang mengalami krisis. Rahim hanya dianggap sekedar organ pelengkap reproduksi perempuan, padahal jauh dari itu di dalam Rahim terdapat sistem kehidupan unik yang luar biasa dan bahkan lebih nyaman dan menyenangkan daripada kehidupanmu di dunia. Dakka mengingatkan kita bahwa betapa istimewanya seorang Ibu yang mengandung dan tidak mengabaikan bahkan mencampakkan anaknya, bayi yang dikandungnya. Dan betapa spesialnya seorang Ayah yang mencintai anaknya, menunggu kelahiran anaknya dengan sabar dan rela mengorbankan dirinya demi anak yang dilahirkan oleh istrinya nanti. Serta betapa celakanya kita sebagai seorang anak jika menyiakan kedua orang kita khususnya Ibu apabila mengingat perjuangan dan kerelaannya untuk kita.

Banyak ilmu yang terkandung dalam setiap tulisan. Tahapan sejak seorang anak manusia “diciptakan” melalui sepasang suami istri yang dipercayakan Raja Semesta hingga ia lahir ke dunia atas kebaikan seorang Ibu yang rela mengorbankan nyawanya demi kelahiran sang buah hati, banyak orang awam yang tidak paham menjadi paham setelah membaca buku ini, ya walaupun tidak se-spesifik mungkin tapi sangat bermanfaat, istilah pasarannya “sambil menyelam minum air”.

Tidak hanya itu, kalimat-kalimat tertentu dengan makna tersembunyi didalamnya mampu membuat kita senyum-senyum sendiri kemudian berkata “oh” atau “ya” dengan penuh keyakinan, menambah keasyikan dalam sesi membaca.

Jadi, tunggu apa lagi? “Rahim” adalah novel yang sangat di rekomendasikan setelah karya lain Fahd Djibran yaitu “Cat In My Eyes” dan “Curhat Setan” :)

Rahim : Sebuah Dongeng Kehidupan

Oleh Arif Musafa

Beberapa minggu lalu saat aku sedang di Wonosobo, di petang hari lik-ku berkunjung ke rumahku. Bukan suatu yang spesial sebenarnya, karena beliau masih 1 kampung dan sering juga berkunjung. Seperti wajarnya dalam setiap kunjungan, kami (bapak, emak, lik, dan aku) mengobrol kesana-kemari.

Lik ku bercerita,“Aku kalo pulang kerja kadang gak enak ama simbah. Beliau suka sekali ngerjain ini-itu, beres-beres rumah, dsb. Padahal aku udah bilang ama simbah, gak usah ngerjain ini-itu, kasihan udah sepuh, ntar capek. Mending simbah istirahat aja. Kan walo aku pulang agak maleman, masih bisa lah ngerjainnya. Tapi, kalo dibilangin gitu, simbah malah “marah” dan bilang ‘kan gak papa simbah ngerjain ini-itu, kalo disuruh istirahat aja, simbah malah bingung, dan bla bla bla’. Kadang ampe agak “geregetan” juga ngasih taunya.

Emak lalu menjawab,“Ya, namanya aja orang tua dik. Simbah gak tega liat kamu kerja dari pagi ampe malam, terus nyampe rumah harus ngerjain pekerjaan rumah. Emang kadang jengkelin juga, kita kan niatnya baik, biar simbah gak capek, tapi kalo dibilangin malah sewot. Tapi namanya orang tua juga lama-lama jadi kaya’ anak kecil, dikasih tau sedikit, bisa ngambek, juga jadi tambah cerewet, hehehe. Mungkin ntar kita kalo sudah tua juga kaya’ gitu ya dik?

Hahahaha”, emak, lik, dan aku yang cuma mendengarkan pun ikut tertawa.

Begitulah lebih kurang percakapan emak dan lik ku di suatu petang. Mereka berdua, sama-sama seorang wanita, seorang ibu, dan seorang anak dari simbahku. Di satu sisi mereka kadang merasa “gemes” juga melihat tingkah orang tuanya yang kadang berlebih dalam berbuat baik pada anak-anaknya. Tapi, di sisi lain mereka juga sadar bahwa mereka pun seorang ibu yang selalu ingin berbuat lebih untuk kebaikan anaknya.

Jumat sore, 25 Juni 2010, pesananku sebuah dongeng karya Fahd Djibran berjudul Rahim sudah aku terima. Awalnya aku tidak berencana untuk pre-order buku tersebut, tapi setelah membaca note di facebook-nya, akhirnya ku putuskan untuk pre-order.

Seperti sudah ku tulis tadi, walaupun ada yang menyebut ini sebagai novel pertama Fahd Djibran setelah sebelumnya menulis beberapa buku (A Cat in My Eyes, Curhat Setan, dll), tapi aku lebih suka menyebutnya sebuah dongeng, atau lebih tepatnya Sebuah Dongeng Kehidupan (itu yang ditulis di cover-nya). Aku memang tidak terlalu tau apa itu novel, tapi menurutku karya terbaru Fahd Djibran tersebut memang lebih cocok disebut dongeng.

Yap, dalam dongeng Rahim ini, kita akan berkenalan dengan seorang bernama Dakka Madakka (begitu membaca namanya, aku langsung menuduh dia sebagai orang Sunda, padahal dia berasal dari Kota Ura. Kau tau Kota Ura?). Dia mempunyai profesi aneh bernama Pengabar Berita dari Alam Rahim. Tak perlu kau mengernyitkan dahi begitu tau profesinya itu karena begitulah adanya. Dia akan menceritakan tentang apa-apa yang pernah kau alami di alam rahim yang kelihatannya sudah kau lupakan.

Kau (saat masih dalam alam rahim rencananya kau akan diberi nama Mikal oleh kedua orang tuamu), seorang yang pernah tinggal di alam rahim dalam rentang waktu sekitar 9 bulan 10 hari akan diajak berkilas balik tentang kisah-kisah yang kau alami saat kau berada disana. Kau masih ingat pertemuanmu dengan Kucing yang Bisa Berbicara? Ikan Mas yang Bekerja sebagai Koki? Amadeus? Aynu si Gadis Buta Penunjuk Jalan? Profesor Waktu? Nenek Olav? Atau Mahavatara? Kalau kau sudah lupa, segeralah temui Dakka.

Juru dongeng akan bercerita dengan rangkai kata yang mudah kau ikuti walau di beberapa tempat dia menggunakan istilah asing yang mungkin tak kau pahami. Tapi tenang saja kawan, dia akan memberikan penjelasan tentang istilah-istilah asing tersebut. Lumayan buat tambahan perbendaharaan ilmu kita. Selain itu, pengetahuanmu tentang alam rahim akan bertambah. Jika sebelumnya kau belum tahu fase yang dialami seorang calon bayi dari saat sperma berhasil membuahi sel telur hingga dia lahir, membaca buku ini kau akan menjadi (lebih) tau.

Untuk bagian yang berjudul Ibu, aku rasa ini bagian yang paling aku suka. Juru dongeng sudah mengingatkan sebelumnya bahwa di bagian inilah akan disampaikan salah satu alasan terpenting mengapa Pengabar Berita dari Alam Rahim ditugaskan ke dunia. Membacanya beberapa lembar, membuatku merinding, hampir-hampir aku meneteskan air mata. Di bagian ini kita memang akan dipertemukan dengan kisah tentang seseorang yang (kebanyakan orang) begitu dekat dengannya, Ibu. Mungkin karena itulah, bagian ini mampu membuatku hampir meneteskan air mata (selain kepiwaian juru dongeng dalam merangkai kata tentunya). Aku tak mau menceritakan detail kisahnya seperti apa karena kau bisa mengintip sebagian isinya disini. Atau bila kau ingin baca lebih lengkap, bacalah di bukunya, hehehe.

Untuk menemukan pesan "sederhana" dalam buku ini, kau tak perlu susah payah untuk mencarinya, karena juru dongeng akan secara gamblang memberitahumu. Tapi, kalau kau ingin mendapatkan pesan yang lebih dari itu, perlu kejelian lebih saat membacanya. Semua tokoh, kejadian, percakapan yang dihadirkan juru dongeng, bukan dihadirkan tanpa suatu sebab.

Aku bukan seorang pembaca buku yang hebat, bahkan tergolong orang yang malas membaca buku. Aku mudah bosan jika harus duduk berlama-lama untuk membaca. Tapi, ternyata dongeng Rahim dapat ku selesaikan dalam waktu kurang darii 2 x 24 jam, dan itu sudah aku selingi dengan berbagai macam kegiatan yang cukup menyita waktu juga. Tak perlu kau kaget kenapa aku bisa menyelesaikannya dalam jangka waktu cukup singkat (untuk ukuranku). Buku 316 halaman ini (untuk buku yang aku dapat, aku dapat “bonus” dobel halaman dari halaman 215 – 230, hahaha) ditulis dengan kata yang mudah dimengerti, mengalir begitu saja, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan disisipi gambar-gambar yang kreatif, ditambah dengan cover yang unik. Ada kata-kata yang kurang ketikan barang 1 huruf pada beberapa tempat, tapi itu tidak terlalu banyak, mungkin tidak sampai hitungan 5.

Secara keseluruhan, aku suka dengan novel (dongeng) pertama karya Fahd Djibran ini. Perlu dibaca untukmu yang (nantinya akan) mengandung seorang bayi dalam rahimmu atau untukmu yang (nantinya akan) mengikuti perkembangan bayimu dalam rahim istrimu. Resapilah hingga meresap ke hati agar kau lebih menghargai hidup, karena jika kau tau, dongeng Rahim bukan sekedar dongeng tentang rahim. Pastinya ada beberapa perbedaan selera dalam cara penyampaian, plot, dsb, tapi itu bukan intinya, yang penting Fahd Djibran sudah berani keluar dari arus tipe-tipe cerita yang ada saat ini. Rahim bisa menjadi salah satu alternatif bacaan bila kau ingin membaca kisah tak biasa yang disampaikan dengan sederhana, namun ada makna luar biasa di dalamnya.

Kau tahu, alam dunia ini juga sebuah rahim, Rahim Semesta yang akan membentuk dan mematangkan dirimu dan kesadaranmu hingga suatu saat nanti kau “lahir” ke alam yang lain.

*Sumber dari sini.