Catatan ini ditulis setelah membaca bab “Ayah” di novel Rahim karya Fahd Djibran
Selama ini, setiap berbicara tentang orang tua, seringnya aku hanya terbayang tentang ibu, yang meminjamkan separuh nyawanya padaku selama sembilan bulan aku menumpang hidup di rahimnya. Yang membawaku di perutnya kemanapun ia pergi tanpa sedikitpun keluhan keluar dari bibirnya. Yang bercucuran darah demi mengantarkanku hadir di dunia. Ibu, selalu ibu. Dan tentu saja ibu pantas mendapat segala penghormatan itu, bahkan lebih dari pantas, tepatnya harus. Betapa rugi, dan teganya mereka yang menyia-nyiakan segala pengorbanan yang dilakukan ibu.
Tapi kemudian aku telat menyadari satu sosok lain, yang tak kalah penting perannya dengan ibu. Sosok yang walaupun tak membawaku di perutnya, tapi selalu menyimpanku di hatinya. Sosok yang paling gelisah ketika ibu menjerit kesakitan di ruang bersalin saat mengantarkan hadirku di dunia. Dia yang berdoa semoga istri, dan anak kesayangan, yang bahkan belum pernah sekalipun dilihatnya, selamat. Dia yang walaupun tak mengorbankan darah, tapi memeras keringatnya demi memberikan putri kesayangannya kehidupan yang layak. Dia, sosok itu, ayah.
Sering luput dari perhatianku betapa kasih sayang ayah tak sedikit pun lebih kecil dari kasih sayang ibu. Sesungguhnya kasih itu sama besarnya, kalau saja aku memperhatikan. Tapi dari beberapa yang luput dari perhatianku, ada beberapa yang kuingat tentang kasih ayah yang jelas nyata kurasa, meski terlambat kusadari.
Aku ingat saat aku berusia sekitar 3 atau 4 tahun, atau ini bahkan mungkin terjadi sejak usiaku lebih kecil, hanya saja ya itu tadi, hal ini begitu saja luput dari perhatianku. Saat itu, setiap selesai menjalankan kewajiban solatnya, ia memintaku duduk di pangkuannya dengan isyarat tangannya. Aku kemudian tanpa bicara mendatangi sejadah, lalu duduk di pangkuannya, sesuai perintahnya. Dan kemudian ia mengambil telapak tanganku meletakkannya di atas telapaknya lalu menengadahkan tangan itu dan mengajakku berdoa. Aku tak tahu pasti apa yang ia rapalkan dalam doanya, yang kuingat adalah pada sela-sela doanya, ia berkali-kali menciumi kepalaku, sambil berselawat. Tangan yang menengadah, ciuman, serta rapalan doa itu tak kumengerti maknanya pada saat itu. Tapi kini, saat aku mengingatnya kembali, tenggorokanku terasa tercekat dan mataku basah oleh air mata. Air mata bahagia karena beruntung telah hidup dengan aliran doa ayah di dalam tubuhku.
Saat aku menginjak usia sekolah,kesempatanku bermain-main dengan ayah berkurang. Ayah bekerja sejak sore, hingga dini hari, dan ini otomatis membuatnya harus menambah waktu tidurnya di pagi hari, sehingga hanya ciuman di pipi kanan kiri dan pesan untuk belajar sungguh-sungguh yang kudapat saat menghampirinya pamit untuk pergi ke sekolah, itu pun hanya dari atas tempat tidurnya. Ia tidak mengantarku sampai ke pintu, tapi aku mengerti, bahkan pada usia itu pun aku mengerti, bahwa ayah butuh istirahat. Di siang hari, saat aku pulang sekolah, ayah sering menyiratkan bahwa sesungguhnya ia ingin bermain-main denganku, tapi aku yang baru kembali dari sekolah terlalu lelah untuk bermain, dan lebih memilih untuk beristirahat tidur. Dan sore hari, saat aku bangun, ayah sudah terlanjur berangkat bekerja.
Tapi aku tidak sedih, karena aku tahu pasti ayah merindukanku. Karena diam-diam setiap dia baru tiba di rumah sepulang ia bekerja, ia menghampiri kamarku, bahkan sebelum dia menghampiri ibu, membenarkan letak selimutku, lalu menciumiku yang lelap dalam tidurku. Dan kadang, jika aku sedang rindu, aku sengaja membiarkan diriku tertidur di ruang tv, semata-mata hanya agar aku punya kesempatan digendong ayah, yang tak pernah tega membagunkanku untuk berjalan sendiri ke kamarku. Dan sesungguhnya aku selalu terbangun tiap kali ayah melakukan itu, tapi aku sengaja pura-pura tidur untuk tetap berada dalam gendongannya.
Betapa sesungguhnya aku punya begitu banyak kenangan tentang ayah, yang seringnya kulupakan saat ia memarahiku saat aku terlalu malam pulang ke rumah, atau saat dia menolak permintaanku untuk membeli sesuatu. Dan saat itu, dengan teganya, aku justru menuduhnya tak memberiku cukup kebebasan, cukup kepercayaan, dan tak hanya itu, aku bahkan menuduhnya tak cukup sayang padaku untuk meluluskan permintaanku. Padahal yang kusebut tak cukup sayang itu bisa jadi justru rasa sayangnya yang kusalahartikan. Seperti ketika aku menolak permintaan adikku yang terus-terusan meminta permen, bukan karena aku tak sayang padanya, tapi justru karena aku peduli dan tak ingin giginya rusak karena terlalu banyak memakan permen. Ya, pasti begitu maksud ayah. Dan yang kusebut tidak memberi cukup kebebasan dan kepercayaan itu sesungguhnya adalah rasa sayang yang begitu besar, hingga membuatnya khawatir bahwa sesuatu akan menimpaku saat aku luput dari penjagaannya
Maka, ayah, atas segala kasih sayang yang luput dari perhatianku, yang menyebabkan aku begitu saja menuduhmu, dan menyebabkanku menyakiti hatimu, aku mohon maaf. Atas segala pengorbananmu yang begitu saja kuabaikan, aku berterima kasih. Dan atas segala doa yang tak henti kau rapalkan, aku sungguh-sungguh mengucap syukur.
Dan, ayah, mungkin aku takkan mampu membalas apa yang telah kau, dan ibu lakukan. Tapi ayah, aku akan berusaha semampuku membahagiakan kalian dengan yang kupunya. Dan sungguh ayah, aku tahu itu pun takkan pernah cukup membalas segala yang kau lakukan untukku. Maka ayah, kali ini biar aku yang menengadahkan tanganku, sambil menciumi pipimu, dan memohonkan segala kebaikan untukmu dan ibu kepada Sang Pemilik Segala. Karena sungguh ayah, atas segala kasih sayang yang kalian curahkan, tak ada yang lebih pantas membalas selain Sang Maha Penyayang. Maka kepada-Nya lah aku berdoa.
Rabbighfirlii Wali wali Dayya Warhamhumaa Kamaa Rabbayani Shaghiraaa.
*Sumber dari sini.
bagus mas saya senang tulisan-tulisannya
BalasHapus